Sabtu, 13 Agustus 2011

Review Diskusi: Karya dan Intensitas Perupa



Komunitas Rumah Lebah pada 12 Agustus 2011 menyelenggarakan diskusi bertema karya dan intensitas perupa. Diskusi sambil menunggu berbuka puasa di sore itu berlangsung di ruang terbuka di halaman Sangkring Art Space. Diskusi yang dimoderatori oleh Muhammad Yusuf Siregar tersebut menghadirkan dua pembicara yaitu Abu Bakar, seniman rupa yang kini berusia 72 tahun, yang pameran karya-karyanya sedang digelar di galeri Sangkring dari tanggal 11 – 25 Agustus 2011 dengan tajuk Abu Bakar: Menyingkir dan pembicara keduaRain Rosidi, seorang seniman, pengamat seni rupa dan dosen fakultas seni murni di ISI Yogyakarta.

Abu Bakar dalam diskusi ini membagikan pengalaman proses kreatifnya dan semangatnya dalam berkarya. Abu menyatakan bahwa dalam berkarya, dirinya menggunakkan teknik assembling, mengambil segala sesuatu yang berada di sekitarnya, kemudian mengolahnya menjadi sesuatu yang apik secara visual. Berkarya baginya bukanlah hal yang serius, berkarya adalah permainan yang dilandasi rasa senang. Rasangan untuk membuat karya dapat berasal dari sesuatu yang menyentuh baik secara visual maupun nurani. Ia memberi contoh dalam karyanya yang berjudul last supper, berawal dari nuraninya yang tersentuh menyadari banyaknya negara maju yang menyimpan cadangan senjata nuklir dan betapa berbahaya nuklir bagi kehidupan. Sesuatu yang menyentuh secara visual atau model-model sebagai rangsangan untuk berkarya, bagi Abu, dapat datang dari pengalaman-pengalaman dalam keseharian kita, mimpi, angan-angan maupun refleksi diri. Model-model untuk berkarya melimpah di sekitar dan di dalam diri kita. Model-model tersebut kemudian dirangkai menjadi suatu karya. Abu Bakar sendiri lebih senang menyebut proses kreatifnya sebagai merangkai bukan sebagai kreasi.

Abu Bakar dikenal sebagai seniman yang menggunakan berbagai media dan teknik dalam berkarya. Ketika ia ditanya mengenai apa tendensinya menggunakan aplikasi media kesenian yang beragam seperti cetak saring, monoprint, dan batik, ia menjawab dengan bercerita, pada awalnya teknik-teknik tersebut tidak lahir dari dirinya sendiri, ia belajar dari orang lain. Teknik membatik misalnya, ia pelajari dari tukang batik di solo. Setelah itu, teknik batik sering ia gunakan sebab ia cukup banyak menerima pesanan batik. Uang hasil membatik tersebut dapat ia gunakan untuk menunjang hidup. Dalam menghasilkan karya yang dapat menyentuh (secara visual dan nurani), Abu Bakar tidak segan menggunakan teknik dan media dari berbagai aliran seni apa pun. Ia sempat menyatakan bahwa sikapnya dalam berkesenian tidaklah anti-genre.

Rain Rosidi sebagai pembicara yang kedua menangkap semangat dan esensi dari proses kreatif Abu Bakar. Rain Rosidi menyarikan sikap berkesenian Abu sebagai kerendahan hati. Abu menyatakan dirinya bukanlah sebagai seorang seniman yang menjadi kreator tapi hanya merangkai model-model yang dicerap dari lingkungan sekitar dan dari dirinya sendiri. Apa pun bisa menjadi model dalam berkarya. Kerendahan hati Abu juga nampak dalam cara ia mendapat pengetahuan berbagai teknik dalam seni rupa. Abu belajar dari orang lain, dari orang yang terjun langsung ke lapangan, seperti pedagang sablon. Cara belajar seperti ini mungkin sedikit berbeda dengan cara belajar teknik yang diajarkan di kampus-kampus seni. Seringkali murid merasa bosan mempelajari suatu teknik karena belum menyadari kegunaannya.

Melihat semangat Abu dalam berkarya, Rain berefleksi dan menarik suatu poin, bahwa pengakuan sebagai seniman di medan sosial seni tidaklah dapat menilai kreativitas individu seseorang. Ini menjadi kritik terhadap fenomena boom dalam seni rupa. Abu menjadi potret seniman yang konsisten (tidak merubah gaya berkesenian demi mengikuti gaya kesenian yang sedang diminati kaum pemodal). Rain dari karya-karya Abu Bakar juga menarik poin lain yaitu karya tidak selalu dihubungkan dengan praktek seni rupa yang biasa. Rain memberi contoh: karya seni lukis bukanlah hanya konsumsi galeri, masih ada medan lain yang dapat digunakan untuk meletakkan karya tersebut, misalnya cover buku. Beberapa karya Abu Bakar ialah cover majalah Dewan Gereja Indonesia ‘Oikumene’. Seni, menurut Rain Rosidi, dapat bertahan jika diletakkan pada medan yang tepat.

Diskusi bergulir hingga buka menjelang. Terus terang, beberapa pertanyaan dari para peserta diskusi tidak sempat terdokumentasikan dengan baik oleh saya. Dari berbagai pertanyaan yang dijawab oleh Abu Bakar, impresi kuat yang saya tangkap ialah mengenai cara ia memandang relasi seni dan realitas di sekitar dan di dalam dirinya, kerendahan hati dan kematangan sikap berkeseniannya.

Oleh: Anastasia Jessica Adinda S.

Kamis, 11 Agustus 2011

Chernyshevsky: The Aesthetic Relations of Art to Reality


Nikolai Gavrilovich Chernyshevsky (1828-1889) ialah salah satu tokoh yang berbicara mengenai hubungan seni dan realitas. Ia ialah seorang wartawan radikal Rusia, penulis, kritikus sastra, dan pemikir. Chernyshevsky adalah anak seorang imam ortodoks. Chernyshevsky menjalani pendidikan seminari teologi di Saratov dari 1842 – 1845. Tahun 1850 ia lulus dari Departemen Sejarah dan Filolofi Universitas St. Petersburg.

Chernyshevsky merasa tidak puas dengan hanya melakukan pekerjaan sebagai wartawan, ia mencoba untuk meneruskan karir akademik dan menyiapkan disertasinya yang berjudul “The Aesthetic Relations of Art to Reality”(1855). Disertasi ini menyajikan sebuah doktrin mengenai keunggulan realitas di atas seni. Dia percaya bahwa tidak ada yang bisa lebih indah daripada yang ada dalam realitas; sebagaiman ia menulis, "Keindahan adalah kehidupan." Menurut Chernyshevsky, seni harus menjadi ‘rujukan dari kehidupan’. "Dia menolak pendirian “art for art’s sake" atau “seni demi seni ". Disertasi tersebut secara menyeluruh menolak asas-asas estetika idealistik Hegel. Namun, pada saat itu, kritik terbuka tehadap idealisme dan pembelaan terhadap materialisme di Rusia tidak dimungkinkan karena terjadi sensor yang sangat ketat.

Pemikiran Chernyshevsky merupakan kritik atas sistem estetika Hegel yang berpendapat bahwa ’ide berkuasa atas bentuk’. Chernyshevsky menolak definisi-definisi yang berlaku pada saat itu, yang meletakkan gagasan mengenai keindahan, kesubliman, dan ketragisan hanya dalam imajinasi kita. Bagi Chernyshevsky, semua gagasan tersebut benar-benar ada dalam alam dan dalam kehidupan manusia (Chernyshevsky, 2005: 151). Chernyshevsky, oleh karena itu, menyatakan bahwa ruang lingkup seni mencakup segala sesuatu dalam kehidupan dan alam yang menjadi perhatian manusia (Chernyshevsky, 2005: 145).

Seorang seniman, lebih lanjut menurut Chernyshevky, tidak hanya sekedar mereproduksi gejala alam tapi juga berpikir dan memberi penilaian atasnya. Seorang seniman juga menjadi seorang pemikir dan sebagai tambahan pada jasa artistikalnya, karyanya memperoleh suatu makna penting yang lebih tinggi, yakni makna penting ilmiah (Chernyshevsky, 2005: 147).

Demikian Chernyshevsky kemudian memperoleh pandangan mengenai hakikat seni. Hakikat seni ialah memproduksi segala sesuatu dalam kehidupan yang penting bagi manusia. Chernyshevsky menggambarkan hubungan seni dan realitas sejajar dengan hubungan sejarah dan kehidupan;

”Fungsi pertama sejarah ialah melukiskan masa lalu. Yang kedua, ialah menyatakan penilaian atasnya, walaupun fungsi ini banyak tidak dilakukan ahli sejarah. Dengan gagal melaksanakan fungsi kedua, ahli sejarah tersebut cuma menjadi seorang pencatat peristiwa dan menyediakan bahan bagi ahli sejarah sejati, atau sebagai bahan bacaan untuk memuaskan keingintahuan. Demikian juga dalam seni, ketika seniman hanya membatasi dirinya pada reproduksi gejala-gejala kehidupan, seniman memuaskan keingitahuan kita atau merangsang kenangan-kenangan kita mengenai kehidupan. Namun jika bersamaan dengan itu seniman menjelaskan dan menyatakan penilaian-penilaian atas gejala-gejala yang direproduksi tersebut, maka ia menjadi seorang pemikir yang memiliki kontribusi selain jasa artistikalnya juga makna penting bagi bidang ilmiah (Chernyshevsky, 2005: hal 146-147).

Bagi Chernyshevsky, seorang seniman tidak hanya meng-imitasi realitas tapi juga memberi pemaknaan terhadapnya. Cara kerja seniman tersebut dianalogikan Chernyshevsky seperti cara kerja ilmu sejarah kritis, yang tidak hanya memaparkan masa lalu, tapi juga memberikan analisis terhadapnya.

Kebutuhan yang melahirkan seni dianalogikan oleh Chernyshevsky dalam seni lukis potret. Potret-potret dibuat bukan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan ciri orang sehingga memuaskan diri kita. Potret-potret dibuat untuk membantu kita mengingat orang yang hidup itu ketika ia tidak berada di hadapan kita dan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang belum sempat melihat, suatu ide tentang bagaimanakah gerangan orang itu. Seni melalui reproduksi-reproduksinya, hanya mengingatkan kita tentang aspek penting dalam kehidupan bagi kita dan berusaha hingga suatu batas tertentu memperkenalkan kepada kita aspek-aspek penting dari kehidupan yang tidak sempat kita alami atau lihat dalam realitas. (Chernyshevsky, 2005: 121).

Chernyshevsky tidak mengusung realisme dalam pengertian gaya artistik modern standar yang ditandai dengan kesetiaan kepada suatu realitas yang ada. Seniman, bagi Chernyshevsky, bukanlah berarti cermin realitas pasif, atau penyedia konten netral. Seniman mulanya harus memilih fitur kemanusiaan yang relevan dari dunia yang direproduksi. Fitur tersebut, bagi Chernyshevsky, ialah yang memiliki hubungan langsung dengan kebutuhan nyata manusia. Seniman yang baik, kemudian, akan merepresentasikan fitur tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menjelaskan makna kepada orang lain. Seniman yang baik juga akan memberikan penilaian pada bahan itu, mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapi dalam realitas yang digambarkan dan mungkin menyajikan alternatif yang lebih baik sebagai model. Pendekatan realisme Chernyshevsky yang demikian mungkin disebut realisme isi tapi bukan realisme bentuk (Scanlan, 1985:11-12).

Inti dari konsepsi Chernyshevsky bukanlah bahwa seni adalah tiruan dari kenyataan sebagaimana dicontohkan Chernyshevky, bahwa lukisan pemandangan laut bukanlah pengganti untuk laut. Seni ialah panggilan sosial. Poin penting untuk Chernyshevsky adalah bahwa seni bukanlah permainan individu atau hiburan dan bukan cara untuk menunjukkan keahlian. Seni melayani tujuan yang berdasar untuk membantu memenuhi kebutuhan nyata manusia dalam konteks sosial. Seniman, untuk melakukan tersebut, tentu saja harus mengenal situasi aktual di mana kebutuhan tersebut didefinisikan dan titik kepuasan mana yang telah dan belum tercapai. Pekerjaan seniman belum selesai, lebih lanjut, seniman juga mengajarkan manusia untuk memahami dan untuk memperbaiki situasi tersebut (Scanlan, 1985:12).

Kesulitan yang dihadapi teori estetika Chernyshevsky ialah sama dengan kesulitan teoritis yang dihadapi Realisme sosialis hari ini. Istilah ‘realisme’ tidak tepat diterapkan dalam keduanya. Sebab poin utama dari keduanya bukanlah seni yang semata sebagai tiruan dari realitas. Teori estetika Chernyshevsky, namun demikian, tetap berbeda dengan realisme sosialis (yang terjadi di Uni soviet era kepemimpinan Stalin). Teori estetika Chernyshevsky menekankan pada pemilihan, penjelasan dan evaluasi realitas yang semuanya diarahkan untuk tujuan sosial sedangkan Realisme sosialis (khususnya yang terjadi di Uni Soviet) terbebani oleh indentifikasi spesifik dari ideologi Komunis dan tirani Stalinis. Masalah dari dua pandangan ini pada tingkat teoritis adalah identik. Chernyshevsky, dalam menganalogikan seni dengan sains dan sejarah, tidak menyediakan analisis riil yang membedakan seni dengan bidang lain, misalnya dengan ilmu; yang membedakan wawasan dan kreativitas seniman dengan pemikir. Teori estetika Chernyshevsky juga realisme sosial fokus pada kehidupan masyarakat dan dengan demikian mengabaikan wilayah pengalaman estetik masing-masing. Keduanya juga memungkinkan seni dikenakan sanksi atau dinilai berdasarkan kriteria non-estetika─kriteria kebutuhan sosial (Scanlan, 1985:12-13).

Teori Chernyshevsky memiliki bahaya yang hampir sama dengan yang terjadi pada Realisme Sosialis di saat “semangat partai” (partignost) merasuki segala bidang termasuk budaya. Seni menjadi tunduk kepada kepentingan-kepentingan partai. Teori Chernyshevsky, di tangan tirani, dapat saja digunakan untuk membenarkan dan mendukung penindasan bukan untuk melayani kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, dan dengan demikian dapat melenceng dari tujuan awalnya (Scanlan, 1985:13). Oleh karena itu, dialektika dalam penciptaan hendaknya terus dicari agar teori ini tidak terjebak mengabdi kepada kepentingan penguasa yang menindas kaum lemah.

Chernyshevsky, N.G, 2005, Hubungan Estetik Seni dengan Realitas (The Aesthetic Relation of Art to Reality), Terjemahan : Samanjaya, Bandung, Ultimus.

Scanlan, James P, 1985, Nikolaj Chernyshevsky and the Philosophy of Realism in Nineteenth-Century Russian Aesthetics dalam Studies in Soviet Thought, Vol. 30, No. 1 Juli.