Senin, 09 Juli 2012

Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter


Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter
Oleh : Anastasia Jessica A.S.

Dokumenter = objektif?
‘Apakah yang disebut film dokumenter dapat diakui sebagai yang mewakili realitas itu sendiri?’. Pertanyaan ini mengemuka dalam sebuah diskusi yang diadakan Festival Film Dokumenter di tahun 2011. Pengertian ‘Dokumenter’ selalu berkembang dari masa ke masa. John Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu.[1] Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Semangat yang diperjuangkan dalam film dokumenter pun mengalami perkembangan, dari yang didasarkan atas semangat untuk menampilkan realitas seobjektif mungkin hingga untuk propaganda. Perkembangan tersebut tampak jika kita melihat sejarah munculnya film dokumenter. Pada era film bisu misalnya, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Kemudian bergeser pada era menjelang dan masa perang dunia kedua, pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Pada era pasca perang dunia, tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.[2]
Keberagaman materi yang ingin disampaikan dalam suatu film dokumenter pun akhirnya melahirkan beberapa pendekatan. Dikenal sedikitnya tiga jenis gaya film dokumenter. Pertama, classical cinema. Ini adalah bentuk paling terstruktur dan tradisional dari dokumenter.  Jenis dokumenter ini sering menggunakan banyak narasi didaktik. Kedua, Cinéma Vérité.  Gaya Cinéma Vérité berasal dari tahun 1950-an dan mencapai popularitas di tahun 1960. Cinéma Vérité didorong oleh kemajuan teknologi film seperti kamera portabel dengan teknologi perekam suara yang bisa dibawa ke mana saja. Cinéma Vérité, berarti 'True Cinema'. Cinéma Vérité bertujuan agar terjadi naturalisme ekstrim, menggunakan aktor non-profesional, teknik pembuatan film yang tidak mengganggu subjek, kamera genggam, lokasi asli, bukan suara studio, suara alamiah tanpa editing pada pasca produksi atau voiceovers. Kamera adalah 'lalat di dinding’ yang mengambil segala hal yang terjadi. Ketiga, documentary drama. Gaya ini mencampur teknik drama dan unsur-unsur faktual dokumenter. Peristiwa nyata diperankan oleh aktor profesional dengan setting yang dikendalikan dalam gaya yang direkonstruksikan dengan jelas.[3]
Setelah melihat, berbagai jenis pendekatan dalam film dokumenter, tampak bahwa pembuatan film dokumenter selalu dipengaruhi oleh gaya yang dipilih pembuat film, teknologi yang digunakan, dan ke-spontan-an subjek yang difilmkan. Kini, kembali mengulang pertanyaan di awal “apakah yang disebut film dokumenter dapat diakui sebagai yang mewakili realitas itu sendiri?”

Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter
Mungkinkah sebuah film dokumenter tanpa keberpihakkan?
Saya pernah menonton salah satu film dokumenter berjudul Secret of Tribe. Film tersebut mempermasalahkan kedudukan seorang peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya. Dikisahkan dalam film tersebut peneliti melakukan intervensi ke dalam masyarakat Yanomami di pedalaman Amerika Latin. Intervensi yang dilakukan berupa pemberian barang-barang yang semula tidak menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat desa tersebut seperti hamok, bahan makanan, dll. Intervensi lain yang menimbulkan perdebatan di kalangan para peneliti antropologi ialah dinikahinya seorang gadis Yanomami oleh seorang peneliti kemudian gadis tersebut dibawa ke kota. Intervensi yang lain lagi berupa disuntikkannya bahan tertentu ke dalam tubuh beberapa penduduk desa, dan suntikkan tersebut mengakibatkan tewasnya puluhan orang di desa tersebut. Dikisahkan dalam Secret of Tribe para peneliti mengemas hasil penelitian, salah satunya dalam bentuk film. Kacamata yang digunakan untuk memandang karakter masyarakat Yanomami dalam film (hasil penelitian) tersebut terasa sangat ‘barat’. Masyarakat Yanomami dicitrakan sebagai masyarakat yang belum beradab karena mengandalkan naluri alamiahnya seperti berperang dan melakukan kekerasan fisik untuk mempertahankan wilayah, mengandalkan hidup sepenuhnya pada alam, tidak berpakaian menutup seluruh tubuh, tidak mengenal baca tulis, dan memiliki perilaku seksual yang liar. Demikian, kira-kira potret masyarakat suku pedalaman dari sudut pandang akademisi. Ideologi, konsep, logika dan sikap pembuat film secara sengaja atau pun tidak sengaja termanifestasi dalam film yang ia hasilkan.
Tantangan terpengaruhnya subjektivitas dalam karya dokumenter sempat coba diatasi oleh para pembuat film dokumenter Indonesia dengan model pembuatan video-video komunitas. Para pembuat film mengajarkan cara mengoperasikan kamera video dan memberi fasilitas penggunaan kamera video untuk anggota komunitas suatu masyarakat. Anggota komunitas dengan demikian dapat membuat video tentang  diri mereka sendiri bukan dari kacamata seorang outsider. Atau cara lain yang pernah dilakukan ialah pembuat  dan subjek yang difilmkan menonton bersama hasil film. Dari menonton bersama tersebut, si subjek boleh memberi masukan mana shot yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak.

Politik seleksi gambar
Yang perlu disadari ialah adanya politik seleksi gambar dalam film dokumenter, demikian istilah yang diungkapkan oleh Saut Situmorang dalam diskusi Festival Film Dokumenter, tanggal 9 Desember 2011 yang bertajuk: “Memeriksa Kembali Relasi Kuasa dan Fungsi Representasi dalam Dokumenter”. Politik seleksi gambar dilakukan sejak pra-produksi hingga mendapatkan gambar-gambar yang fix untuk ditampilkan. Sejak pra-produksi, produser, sutradara dan kru sudah mempunyai konsep kegiatan-kegiatan apa saja yang berhubungan dengan isu yang akan diangkat, framing dan camera work seperti apa yang akan dipakai agar pesan yang diinginkan dapat sampai kepada penonton, shot gambar apa saja yang dibutuhkan untuk menguatkan pesan. Pada tahap produksi, camera person memiliki kuasa untuk memilih kegiatan mana dan framing seperti apa yang akan diambil, tentu saja berdasarkan garis besar isu yang akan diangkat. Pada tahap pasca produksi, editor punya kuasa untuk menyeleksi gambar mana yang perlu ditampilkan dan yang tidak perlu. Ditambah lagi, jika pembuat film mengadakan menonton hasil editan terakhir bersama subjek yang difilmkan, maka sang subjek juga berhak memilih gambar mana yang layak diangkat dan mana yang tidak layak, tentu dengan alasan yang kuat dari si subjek. Membuat film dokumenter yang bebas nilai rasanya tak mungkin. Dalam film dokumenter terjadi tarik ulur kepentingan baik dari pembuat maupun subjek yang difilmkan.

Relasi kuasa dan pengetahuan
Kuasa tidak hanya hadir dalam film dokumenter, tapi juga dalam semua bentuk pengetahuan. Hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi fokus kajian seorang tokoh Prancis bernama Michel Foucault. Bagi Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Kekuasaan dalam pengetahuan membentuk penentuan kriteria benar-salah, wajar-tidak wajar, sehat-tidak sehat, dll. Kriteria tersebut kemudian ikut membentuk konsep individu tentang suatu pengetahuan. Sebagai contoh, definisi kedokteran tentang penyakit menular atau penyakit keturunan menyebabkan isolasi, pengasingan, dan hubungan sosial dengan penderita berubah; definisi psikiatri tentang alienasi mental/gila mengubah praktik penanganan orang gila; atau konsep kecantikan menghasilkan salon, diet, fitness, dan pakaian.[4] Dalam film dokumenter, kekuasaan hadir dalam citra tentang suatu wacana. Misalnya: dalam contoh film ‘Secret of Tribe’, citra suku Yanomami adalah citra dari sudut pandang para peneliti Barat. Film dokumenter, sekaligus adalah suatu bentuk wacana baru yang akan mempengaruhi pikiran, tindakan dan ucapan individu-individu. Sebagai contoh: setelah saya menonton film dokumenter ‘Food Inc’ yang di salah satu bagiannya menceritakan tentang kekejian restoran cepat saji multinasional dalam menyiapkan daging-daging ternaknya, saya jadi tidak mau makan di restoran cepat saji tersebut.

Lalu, Bagaimana Kita Bersikap?
Kesangsian akan adanya dokumenter yang benar-benar ‘dokumenter’ tak harus membawa sikap fatalisme dengan memilih untuk tidak membuat atau menonton film dokumenter sama sekali. Membuat atau menonton film dokumenter dengan ke’waspada’an itulah yang diperlukan. Ke’waspada’an mengasumsikan adanya kesadaran. Kesadaran seperti apa? kesadaran bahwa setiap film dokumenter punya sudut pandang sesuai dengan ideologi si pembuat film dan pendana film tersebut, kesadaran bahwa film dokumenter melibatkan banyak orang dan setiap orang punya sisi subjektivitas yang sangat mungkin terikut saat mengeksekusi gambar mana yang akan ditampilkan, dan kesadaran terhadap konteks saat munculnya film tersebut. Film Dokumenter sebagai suatu produk pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh Foucault, ialah merupakan artikulasi dari kekuasaan (tidak hanya berarti kekuasaan politik). Namun, kesangsian terhadap pengetahuan (juga terhadap film dokumenter) tak harus membuat kita sama sekali tidak mau mencerap semua pengetahuan, hanya saja kita perlu melihat seluruh aspek secara lebih komprehensif dan merayakan keberagaman berbagai perspektif.

Daftar Pustaka:
Sejarah Film Dokumenter dalam Montase, buletin seni independen vol.09
Haryatmoko, Handout kuliah filsafat sosial Pascasarjana Fakultas Filsafat Ugm.
Trisha Das, How to Write a Documentary Script, A Monograph.
Yoga, 2008. Apa itu film Dokumenter? dalam http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=15




[1] Yoga, 2008. Apa itu film Dokumenter? dalam http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=15
[2] Sejarah Film Dokumenter dalam Montase, buletin seni independen vol.09
[3] Trisha Das, How to Write a Documentary Script, A Monograph. Hlm. 8
[4] Handout kuliah filsafat sosial pascasarjana filsafat ugm oleh Haryatmoko.