Oleh: Anastasia
Jessica A. S.
Kelesuan pasar seni rupa merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi seni rupa kontemporer Indonesia. Siklus hidup seni
rupa tergantung pada berputarnya kapital ekonomi. Syakieb Sungkar, seorang kolektor seni rupa kontemporer, mengemukakan bahwa
kelesuan pasar seni rupa di Indonesia memang mendapat pengaruh dari melemahnya
kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika yang terjadi sekitar tahun 2010 sampai
sekarang.[1]Gelombang kapital ekonomi semakin menguat
di dunia seni rupa Indonesia sejak boom lukisan tahun 1987. Pada tahun
1987 tercatat di jakarta saja terjadi 116 pameran. Ini merupakan kenaikan
hampir 40% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini terus meningkat dalam setiap
tahun. Frekuensi pameran diikuti antusiasme pembelian lukisan. Selama tahun
1998 misalnya, ada sekitar 4.000 lukisan terbeli di ruang pamer resmi.[2]
Di tengah keramaian pasar seni rupa ini muncul investor atau “kolekdol”
(Kolektor yang pada waktu tertentu dodolan, “mendolarkan”, atau menjual
koleksinya). Kehadiran kolekdol seringkali didampingi oleh pengijon yang
membayar uang muka kepada pelukis terlebih dahulu sebelum karya tersebut jadi,
agar karya-karya pelukis tidak jatuh ke tangan orang lain.[3]
Karya seni mulai dipandang sebagai komoditas[4]. Seni
di bawah kondisi-kondisi kapitalis memang menjadi satu bentuk kerja yang
teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditi dalam pasar.[5]
Para kolekdol menjual-belikan karya seni bukan lagi berdasar bobot nilai estetikanya
tetapi melihatnya sebagai investasi dan prestise. Konsumsi karya-karya seni
rupa sebagai prestise, meminjam pemikiran Baudrillard, tidak lagi untuk mengonsumsi
objek-objek yang nampak, tapi untuk sederetan makna yang ditautkan pada objek
yang nampak itu, seperti status sosial atau tingkat intelektual yang tinggi.
Konsumsi karya seni rupa ini
berada dalam jaringan rumit dunia seni (Artworld). Artworld merupakan
jaringan yang terdiri dari seniman, kurator, kritikus seni, galeri, kolektor,
penyandang dana (founding), audien, dan media massa. Bagaikan tubuh,
kerusakan pada salah satu organ di jaring artworld ini akan merusak
sistem. Perbaikan pun, sejalan dengan logika kerusakan, dapat dilakukan mulai
dari satu organ yang kemudian perlahan mempengaruhi sembuhnya keseluruhan.
Dalam kasus kelesuan pasar seni rupa kontemporer Indonesia, organ yang dianggap
rusak ialah penyandang dana (founding). Keterpurukan ekonomi negara
Eropa dan Amerika dianggap sebagai alasan ambruknya geliat kehidupan seni rupa
kontemporer Indonesia. Berkurangnya dana yang dikucurkan oleh founding akhirnya berpengaruh pada menurunnya produktivitas
seniman dalam berkarya.[6] Jika
seniman tidak produktif maka tidak ada karya, sedang tanpa karya tak akan ada
kurator, kritikus seni, galeri, kolektor, audien, dan berita di media massa. Lalu
bagaimana memperbaiki tubuh seni rupa kontemporer Indonesia yang salah satu
organnya sedang sakit ini? Sejarah seni rupa di Indonesia punya pelajaran
berharga soal kemandirian. Mungkin terdengar seperti romantisme kejayaan. Tapi
tak ada salahnya untuk kita tengok, bagaimana seni rupa di awal kemerdekaan
bisa hidup? Notabene di awal kemerdekaan, orang masih sibuk dengan urusan-urusan
selain seni. Seni dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting karena
tidak bisa memberi makan dan melancarkan urusan-urusan pemerintah setelah
kemerdekaan. Namun, bagaimana justru di era-era awal kemerdekaan ini kritik
seni bisa berjalan dengan lancar, gencar serang menyerang melalui media massa?
Setelah Indonesia merdeka, era sanggar di dunia seni rupa pun berlangsung. Para
seniman mendapat inspirasi untuk mendirikan sanggar-sanggar dari lembaga
seperti Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) dan Keimin Bunka Shidhoso (Pusat
Kebudayaan di zaman Jepang). Sanggar ini umumnya dilihat sebagai rumah
pelatihan ketrampilan dan tempat pengasahan kreasi, juga sebagai institusi yang
dapat dituntut untuk melahirkan karya-karya yang dibutuhkan masyarakat. Sanggar
bagi perupa memberikan rasa aman dalam berbagai hal termasuk soal kesejahteraan
ekonomi. Sanggar Pelukis Rakyat, pimpinan Hendra Gunawan memberikan contoh
menarik, Hendra mendidik para anggotanya untuk bisa bekerja semau hati, tanpa
dibayangi oleh hasrat-hasrat orang lain yang ingin menuntun. Tetapi di sisi
lain, Hendra juga mengajarkan agar seniman bisa berkompromi dengan masyarakat,
para calon pengguna seni rupa. [7]
Sanggar yang bebas dari subsidi ini berusaha untuk menghidupi keseniannya
dengan menyeimbangkan antara “karya dengan kebebasan hati” dan “karya dengan bidikan
masyarakat ” sebagai sasaran pengguna seni rupa. Komunitas Sanggar Bambu
pimpinan Sunarto Pr. memberikan contoh yang lain. Sunarto Pr. mengatakan bahwa
sedapat mungkin para perupa Sanggar Bambu dapat mengaplikasikan karya-karya
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Anggota Sanggar Bambu misalnya menghasilkan
karya yang dapat digunakan sebagai dekorasi rumah dan taman, elemen artistik
ruang publik, penghias kolom majalah dan surat kabar, dan sebagainya. Para
seniman di sanggar ini dapat bertahan cukup lama, hingga tahun 90-an Sanggar
Bambu masih melakukan pameran. [8]Kemandirian seniman-seniman yang
tergabung dalam sanggar bisa menjadi model untuk kemandirian galeri seni juga. Galeri
bersama seniman dapat melakukan upaya untuk menghidupi seni rupa kontemporer
Indonesia. Galeri bersama seniman misalnya dapat bekerja sama untuk mengadakan
suatu project seni di tengah masyarakat. Ini merupakan metode lama yang
banyak digunakan oleh seniman-seniman Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Metode
ini dikenal dengan nama turba (turun bawah). Sekelompok kecil seniman bekerja
di dalam dan bersama sekelompok komunitas masyarakat. Seniman mempelajari isu
yang menarik bagi komunitas tersebut. Bagaimana cara mempelajarinya? Seniman perlu hidup bersama
dan ikut mengerjakan segala yang komunitas tersebut kerjakan. Tidak hanya ikut
dalam kehidupan komunitas ini, seniman juga perlu mengajak beberapa orang dari
komunitas untuk ikut berkarya. Dengan terlibatnya orang-orang dari komunitas
tersebut, karya-karya yang dibuat pun akan dapat dimengerti oleh masyarakat, dan
komunitas tersebut tidak segan untuk ikut membantu mengupayakan dana guna
menghidupi kesenian karena mereka merasa terlibat dan memiliki acara. Peran
galeri adalah mengorganisir pameran karya seniman dan komunitas tersebut agar
berjalan efektif dan efisien serta berusaha mengatasi gap (jurang) yang terjadi
antara masyarakat dan acara pameran. Seringkali, masyarakat enggan masuk ke
galeri-galeri untuk menghadiri pameran seni karena menganggap ada gap status
sosial, ekonomi, dan budaya. Galeri dengan konsep acara pamerannya diharapkan
mampu memecahkan stigma bahwa menonton pameran lukisan adalah, meminjam istilah
Pierre Bourdieu, suatu distinction, pembedaan gaya hidup agar terlihat
dari kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Perubahan cara berpikir ini
ialah perubahan yang bersifat epistemologis[9].
Perubahan kerangka penafsiran terhadap menonton pameran lukisan ini erat
kaitannya dengan kuasa dalam pengetahuan. Siapa yang dapat mengubah kerangka
penafsiran? Yang dapat mengubah kerangka penafsiran ialah pemilik modal
(kapital) dan strategi perilaku. Modal di sini tidak selalu berarti modal
ekonomi. Bourdieu menyatakan ada empat jenis modal (kapital) yaitu kapital
ekonomi, budaya, sosial dan simbolik.[10]
Pemilik modal ekonomi, dalam kasus ini misalnya, para kolektor nasional.
Bagaimana dapat menarik kolektor nasional? Galeri butuh mengajak pemilik modal
budaya, seperti kurator, kritikus seni dan akademisi yang memiliki pengetahuan
intelektual dan kemampuan menulis. Galeri dapat memantik pemilik modal budaya
ini untuk menulis dan bersuara mengenai pameran. Media massa dan jurnal juga
dapat digunakan sebagai corong pengeras suara mengenai pameran ini ke publik.
Sedang, kapital sosial dapat berupa kemampuan galeri untuk bekerjasama karena
budaya kerjasama akan melahirkan kepercayaan. Dan yang terakhir ialah galeri
perlu mengajak orang-orang yang memiliki kapital simbolik seperti tokoh masyarakat, kepala dusun
komunitas setempat, atau tokoh-tokoh yang memiliki pengakuan sosial dari
kelompok, baik secara institusional maupun informal. Segala yang dilakukan
tokoh-tokoh yang memiliki kapital simbolik ini biasanya akan diikuti oleh
orang-orang yang mengakui ketokohannya. Dengan usaha demikian, seniman bisa
terus bertahan hidup dan tidak tercerabut dari masyarakat. Galeri tetap menjadi
pengoordinir pameran sehingga tetap dapat running. Karya seni juga tidak
menjadi pingitan di gudang-gudang para kolekdol. Fungsi komunikasi dari seniman
ke audien pada seni pun berjalan dengan lancar. Jadi, pasar global terpuruk, jangan
panik.
Daftar Pustaka:
Agus Dermawan
T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi dalam Aspek-aspek
seni visual indonesia, paradigma dan pasar. Yogyakarta: Yayasan Seni
Cemeti.
Greg
Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Haryatmoko, 2010, Dominasi
Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.
Gumilarganjar. Sedikit
Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/
Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id
[1] Gumilarganjar. Sedikit
Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/
[2] Agus Dermawan T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan
Gelombang Ekonomi dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Paradigma dan
Pasar. Hal 64.
[3] Ibid.
[4] komoditas adalah segala hal yang
ada di luar individu yang melalui kualitas yang dimilikinya bisa memuaskan
individu . komoditas dapat memiliki nilai guna dan nilai tukar. Nilai
guna ialah kualitas yang dimiliki objek ketika dapat memenuhi kebutuhan hidup. Sedang, nilai tukar ialah kualitas yang dimiliki objek
ketika dapat dipertukarkan dengan uang atau objek-objek lain di pasar lain.
[5] Greg Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran.
Hal 32.
[6] Lihat berita Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id
[7]
Agus Dermawan T. Hal 60-61
[8]
ibid
[9]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari mengenai pengetahuan
[10]
Bourdieu dalam Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan
Diskriminasi. Hal 17
Oleh: Anastasia
Jessica A. S.
Kelesuan pasar seni rupa merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi seni rupa kontemporer Indonesia. Siklus hidup seni
rupa tergantung pada berputarnya kapital ekonomi. Syakieb Sungkar, seorang kolektor seni rupa kontemporer, mengemukakan bahwa
kelesuan pasar seni rupa di Indonesia memang mendapat pengaruh dari melemahnya
kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika yang terjadi sekitar tahun 2010 sampai
sekarang.[1]Gelombang kapital ekonomi semakin menguat
di dunia seni rupa Indonesia sejak boom lukisan tahun 1987. Pada tahun
1987 tercatat di jakarta saja terjadi 116 pameran. Ini merupakan kenaikan
hampir 40% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini terus meningkat dalam setiap
tahun. Frekuensi pameran diikuti antusiasme pembelian lukisan. Selama tahun
1998 misalnya, ada sekitar 4.000 lukisan terbeli di ruang pamer resmi.[2]
Di tengah keramaian pasar seni rupa ini muncul investor atau “kolekdol”
(Kolektor yang pada waktu tertentu dodolan, “mendolarkan”, atau menjual
koleksinya). Kehadiran kolekdol seringkali didampingi oleh pengijon yang
membayar uang muka kepada pelukis terlebih dahulu sebelum karya tersebut jadi,
agar karya-karya pelukis tidak jatuh ke tangan orang lain.[3]
Karya seni mulai dipandang sebagai komoditas[4]. Seni
di bawah kondisi-kondisi kapitalis memang menjadi satu bentuk kerja yang
teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditi dalam pasar.[5]
Para kolekdol menjual-belikan karya seni bukan lagi berdasar bobot nilai estetikanya
tetapi melihatnya sebagai investasi dan prestise. Konsumsi karya-karya seni
rupa sebagai prestise, meminjam pemikiran Baudrillard, tidak lagi untuk mengonsumsi
objek-objek yang nampak, tapi untuk sederetan makna yang ditautkan pada objek
yang nampak itu, seperti status sosial atau tingkat intelektual yang tinggi.
Konsumsi karya seni rupa ini
berada dalam jaringan rumit dunia seni (Artworld). Artworld merupakan
jaringan yang terdiri dari seniman, kurator, kritikus seni, galeri, kolektor,
penyandang dana (founding), audien, dan media massa. Bagaikan tubuh,
kerusakan pada salah satu organ di jaring artworld ini akan merusak
sistem. Perbaikan pun, sejalan dengan logika kerusakan, dapat dilakukan mulai
dari satu organ yang kemudian perlahan mempengaruhi sembuhnya keseluruhan.
Dalam kasus kelesuan pasar seni rupa kontemporer Indonesia, organ yang dianggap
rusak ialah penyandang dana (founding). Keterpurukan ekonomi negara
Eropa dan Amerika dianggap sebagai alasan ambruknya geliat kehidupan seni rupa
kontemporer Indonesia. Berkurangnya dana yang dikucurkan oleh founding akhirnya berpengaruh pada menurunnya produktivitas
seniman dalam berkarya.[6] Jika
seniman tidak produktif maka tidak ada karya, sedang tanpa karya tak akan ada
kurator, kritikus seni, galeri, kolektor, audien, dan berita di media massa. Lalu
bagaimana memperbaiki tubuh seni rupa kontemporer Indonesia yang salah satu
organnya sedang sakit ini? Sejarah seni rupa di Indonesia punya pelajaran
berharga soal kemandirian. Mungkin terdengar seperti romantisme kejayaan. Tapi
tak ada salahnya untuk kita tengok, bagaimana seni rupa di awal kemerdekaan
bisa hidup? Notabene di awal kemerdekaan, orang masih sibuk dengan urusan-urusan
selain seni. Seni dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting karena
tidak bisa memberi makan dan melancarkan urusan-urusan pemerintah setelah
kemerdekaan. Namun, bagaimana justru di era-era awal kemerdekaan ini kritik
seni bisa berjalan dengan lancar, gencar serang menyerang melalui media massa?
Setelah Indonesia merdeka, era sanggar di dunia seni rupa pun berlangsung. Para
seniman mendapat inspirasi untuk mendirikan sanggar-sanggar dari lembaga
seperti Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) dan Keimin Bunka Shidhoso (Pusat
Kebudayaan di zaman Jepang). Sanggar ini umumnya dilihat sebagai rumah
pelatihan ketrampilan dan tempat pengasahan kreasi, juga sebagai institusi yang
dapat dituntut untuk melahirkan karya-karya yang dibutuhkan masyarakat. Sanggar
bagi perupa memberikan rasa aman dalam berbagai hal termasuk soal kesejahteraan
ekonomi. Sanggar Pelukis Rakyat, pimpinan Hendra Gunawan memberikan contoh
menarik, Hendra mendidik para anggotanya untuk bisa bekerja semau hati, tanpa
dibayangi oleh hasrat-hasrat orang lain yang ingin menuntun. Tetapi di sisi
lain, Hendra juga mengajarkan agar seniman bisa berkompromi dengan masyarakat,
para calon pengguna seni rupa. [7]
Sanggar yang bebas dari subsidi ini berusaha untuk menghidupi keseniannya
dengan menyeimbangkan antara “karya dengan kebebasan hati” dan “karya dengan bidikan
masyarakat ” sebagai sasaran pengguna seni rupa. Komunitas Sanggar Bambu
pimpinan Sunarto Pr. memberikan contoh yang lain. Sunarto Pr. mengatakan bahwa
sedapat mungkin para perupa Sanggar Bambu dapat mengaplikasikan karya-karya
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Anggota Sanggar Bambu misalnya menghasilkan
karya yang dapat digunakan sebagai dekorasi rumah dan taman, elemen artistik
ruang publik, penghias kolom majalah dan surat kabar, dan sebagainya. Para
seniman di sanggar ini dapat bertahan cukup lama, hingga tahun 90-an Sanggar
Bambu masih melakukan pameran. [8]Kemandirian seniman-seniman yang
tergabung dalam sanggar bisa menjadi model untuk kemandirian galeri seni juga. Galeri
bersama seniman dapat melakukan upaya untuk menghidupi seni rupa kontemporer
Indonesia. Galeri bersama seniman misalnya dapat bekerja sama untuk mengadakan
suatu project seni di tengah masyarakat. Ini merupakan metode lama yang
banyak digunakan oleh seniman-seniman Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Metode
ini dikenal dengan nama turba (turun bawah). Sekelompok kecil seniman bekerja
di dalam dan bersama sekelompok komunitas masyarakat. Seniman mempelajari isu
yang menarik bagi komunitas tersebut. Bagaimana cara mempelajarinya? Seniman perlu hidup bersama
dan ikut mengerjakan segala yang komunitas tersebut kerjakan. Tidak hanya ikut
dalam kehidupan komunitas ini, seniman juga perlu mengajak beberapa orang dari
komunitas untuk ikut berkarya. Dengan terlibatnya orang-orang dari komunitas
tersebut, karya-karya yang dibuat pun akan dapat dimengerti oleh masyarakat, dan
komunitas tersebut tidak segan untuk ikut membantu mengupayakan dana guna
menghidupi kesenian karena mereka merasa terlibat dan memiliki acara. Peran
galeri adalah mengorganisir pameran karya seniman dan komunitas tersebut agar
berjalan efektif dan efisien serta berusaha mengatasi gap (jurang) yang terjadi
antara masyarakat dan acara pameran. Seringkali, masyarakat enggan masuk ke
galeri-galeri untuk menghadiri pameran seni karena menganggap ada gap status
sosial, ekonomi, dan budaya. Galeri dengan konsep acara pamerannya diharapkan
mampu memecahkan stigma bahwa menonton pameran lukisan adalah, meminjam istilah
Pierre Bourdieu, suatu distinction, pembedaan gaya hidup agar terlihat
dari kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Perubahan cara berpikir ini
ialah perubahan yang bersifat epistemologis[9].
Perubahan kerangka penafsiran terhadap menonton pameran lukisan ini erat
kaitannya dengan kuasa dalam pengetahuan. Siapa yang dapat mengubah kerangka
penafsiran? Yang dapat mengubah kerangka penafsiran ialah pemilik modal
(kapital) dan strategi perilaku. Modal di sini tidak selalu berarti modal
ekonomi. Bourdieu menyatakan ada empat jenis modal (kapital) yaitu kapital
ekonomi, budaya, sosial dan simbolik.[10]
Pemilik modal ekonomi, dalam kasus ini misalnya, para kolektor nasional.
Bagaimana dapat menarik kolektor nasional? Galeri butuh mengajak pemilik modal
budaya, seperti kurator, kritikus seni dan akademisi yang memiliki pengetahuan
intelektual dan kemampuan menulis. Galeri dapat memantik pemilik modal budaya
ini untuk menulis dan bersuara mengenai pameran. Media massa dan jurnal juga
dapat digunakan sebagai corong pengeras suara mengenai pameran ini ke publik.
Sedang, kapital sosial dapat berupa kemampuan galeri untuk bekerjasama karena
budaya kerjasama akan melahirkan kepercayaan. Dan yang terakhir ialah galeri
perlu mengajak orang-orang yang memiliki kapital simbolik seperti tokoh masyarakat, kepala dusun
komunitas setempat, atau tokoh-tokoh yang memiliki pengakuan sosial dari
kelompok, baik secara institusional maupun informal. Segala yang dilakukan
tokoh-tokoh yang memiliki kapital simbolik ini biasanya akan diikuti oleh
orang-orang yang mengakui ketokohannya. Dengan usaha demikian, seniman bisa
terus bertahan hidup dan tidak tercerabut dari masyarakat. Galeri tetap menjadi
pengoordinir pameran sehingga tetap dapat running. Karya seni juga tidak
menjadi pingitan di gudang-gudang para kolekdol. Fungsi komunikasi dari seniman
ke audien pada seni pun berjalan dengan lancar. Jadi, pasar global terpuruk, jangan
panik.
Daftar Pustaka:
Agus Dermawan
T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi dalam Aspek-aspek
seni visual indonesia, paradigma dan pasar. Yogyakarta: Yayasan Seni
Cemeti.
Greg
Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Haryatmoko, 2010, Dominasi
Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.
Gumilarganjar. Sedikit
Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/
Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id
[1] Gumilarganjar. Sedikit
Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/
[2] Agus Dermawan T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan
Gelombang Ekonomi dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Paradigma dan
Pasar. Hal 64.
[3] Ibid.
[4] komoditas adalah segala hal yang
ada di luar individu yang melalui kualitas yang dimilikinya bisa memuaskan
individu . komoditas dapat memiliki nilai guna dan nilai tukar. Nilai
guna ialah kualitas yang dimiliki objek ketika dapat memenuhi kebutuhan hidup. Sedang, nilai tukar ialah kualitas yang dimiliki objek
ketika dapat dipertukarkan dengan uang atau objek-objek lain di pasar lain.
[5] Greg Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran.
Hal 32.
[6] Lihat berita Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id
[7]
Agus Dermawan T. Hal 60-61
[8]
ibid
[9]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari mengenai pengetahuan
[10]
Bourdieu dalam Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan
Diskriminasi. Hal 17
Kelesuan pasar seni rupa merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi seni rupa kontemporer Indonesia. Siklus hidup seni
rupa tergantung pada berputarnya kapital ekonomi. Syakieb Sungkar, seorang kolektor seni rupa kontemporer, mengemukakan bahwa
kelesuan pasar seni rupa di Indonesia memang mendapat pengaruh dari melemahnya
kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika yang terjadi sekitar tahun 2010 sampai
sekarang.[1]Gelombang kapital ekonomi semakin menguat
di dunia seni rupa Indonesia sejak boom lukisan tahun 1987. Pada tahun
1987 tercatat di jakarta saja terjadi 116 pameran. Ini merupakan kenaikan
hampir 40% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini terus meningkat dalam setiap
tahun. Frekuensi pameran diikuti antusiasme pembelian lukisan. Selama tahun
1998 misalnya, ada sekitar 4.000 lukisan terbeli di ruang pamer resmi.[2]
Di tengah keramaian pasar seni rupa ini muncul investor atau “kolekdol”
(Kolektor yang pada waktu tertentu dodolan, “mendolarkan”, atau menjual
koleksinya). Kehadiran kolekdol seringkali didampingi oleh pengijon yang
membayar uang muka kepada pelukis terlebih dahulu sebelum karya tersebut jadi,
agar karya-karya pelukis tidak jatuh ke tangan orang lain.[3]
Karya seni mulai dipandang sebagai komoditas[4]. Seni
di bawah kondisi-kondisi kapitalis memang menjadi satu bentuk kerja yang
teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditi dalam pasar.[5]
Para kolekdol menjual-belikan karya seni bukan lagi berdasar bobot nilai estetikanya
tetapi melihatnya sebagai investasi dan prestise. Konsumsi karya-karya seni
rupa sebagai prestise, meminjam pemikiran Baudrillard, tidak lagi untuk mengonsumsi
objek-objek yang nampak, tapi untuk sederetan makna yang ditautkan pada objek
yang nampak itu, seperti status sosial atau tingkat intelektual yang tinggi.