Minggu, 26 Mei 2013

Epistemologi Seni


Oleh: Anastasia Jessica Adinda S.

Seni seringkali dipandang sebagai kegiatan manusia yang bersumber dari rasa, tapi apakah ini berarti pengetahuan seni tidak dapat diuraikan seperti kita menguraikan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, pengalaman, atau akal? Seni seperti jenis pengetahuan yang lain juga dapat dicari hakikatnya dari sudut pandang epistemologi.
Apa itu epistemologi?
Pernahkan bertanya : dari mana manusia bisa mengetahui sesuatu? apakah yang kita ketahui benar-benar sama dengan yang sesungguhnya hadir? Jika sama, mengapa seringkali kita mengalami kekeliruan? Apakah itu benar dan keliru? Jika pernah menanyakan hal-hal di atas, artinya Anda telah sampai pada ranah epistemologi. Epistemologi atau filsafat pengetahuan mengkaji secara kritis mengenai hakikat pengetahuan, ciri-ciri umumnya, metode memperoleh pengetahuan, pengandaian-pengandaian dasar yang memungkinkan terjadinya pengetahuan, dan kebenaran.
Subjektivitas dan Objektivitas dalam seni
Apakah sesuatu dikatakan seni atau bukan seni itu tergantung dari subjek yang melihatnya? Atau karena suatu benda memancarkan nilai seni sehingga manusia menyebut itu seni? Dalam epistemologi, dikenal dua golongan besar pemikiran mengenai asal pengetahuan, pertama empirisme dan kedua rasionalisme. Empirisme menyatakan pengetahuan berasal dari dunia di luar subjek atau dari pengalaman. Jikalau pemahaman subjek memiliki peran dalam memperoleh pengetahuan, hal itu bukan peran utama. Objek memiliki peran utama sebagai sumber pengetahuan. Sedang pada rasionalisme, pengetahuan berasal dari rasio, akal manusia. Subjek memiliki peranan penting dalam proses pembentukan pengetahuan. Namun pertanyaannya, mungkinkah subjek yang berdiri tanpa objek dapat memperoleh pengetahuan? dan juga sebaliknya, mungkinkan objek dapat dimengerti tanpa peran subjek sama sekali?
Permasalahan subjektivitas dan objektivitas dalam seni membawa persoalan berikutnya: apakah seni sungguh tergantung dari setiap orang yang mengamatinya? Jika tidak ada objektivitas dalam seni, masihkan pendidikan seni yang mengajarkan aturan-aturan umum dalam seni relevan? (Hardono Hadi, 2011).
Metode memperoleh Pengetahuan dalam Seni
Dalam epistemologi, dikenal ada beberapa metode dalam memperoleh pengetahuan misalnya metode yang berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan. Plato, sebagai contohnya. Plato meyakini kenyataan yang sesungguhnya berada di dunia ide. Bertolak dari keyakinan ini, epistemologi Plato memahami bahwa pengetahuan diperoleh dari kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihat dalam dunia ide. Contoh metode lain dalam memperoleh pengetahuan ialah berangkat dari keraguan untuk sampai pada kebenaran yang tidak diragukan lagi. Misalnya, metode Descartes, skeptisme metodis yang dibedakan dari skeptisisme mutlak. Descartes memulai dari keraguan akan segala kenyataan untuk sampai pada kesimpulan yang tidak dapat diragukan lagi yaitu bahwa dirinya sedang berpikir. Dalam seni, juga terdapat perbedaan dalam metode memperoleh pengetahuan. Aliran melukis Neo-klasikisme misalnya, meyakini bahwa seni harus bersumber dari riset yang mendalam terhadap sejarah, baik itu diperoleh dari sastra klasik atau artefak masa lampau yang masih tersisa. Sedang, aliran melukis romantikisme menolak hal ini, seni bukan berasal dari peranan rasio yang logis, atau juga bukan dari ketepatan dengan sejarah, tetapi berasal dari emosi. Rasio menurut aliran romantikisme tidak dapat menjangkau hal-hal yang dapat dicapai oleh emosi.
Aliran impresionisme juga memperlihatkan perbedaan metode dalam memperoleh pengetahuan dibanding aliran lain seperti realisme atau naturalisme. Ketiga aliran ini yakin bahwa kenyataan di luar subjek merupakan sumber pengetahuan. Ketiga aliran ini juga memiliki keinginan yang sama untuk menggambarkan kenyataan sebagaimana adanya, tanpa ilusi. Namun demikian, ketiganya berbeda dalam metode menangkap kenyataan. Dalam Naturalisme, pelukis ingin menggambarkan objek setepat mungkin, peniruan dalam naturalisme ialah peniruan bentuk. Pelukis naturalis menyakini bahwa pengetahuan ialah apa yang dia lihat secara kasat mata. Sedang, realisme tidak hanya menggambarkan bentuk objek setepat mungkin tetapi juga isi suasananya. Pengetahuan bagi pelukis realis ialah apa yang ia lihat dan ia pikirkan tentang suatu objek. Tentu pikiran tersebut bukan hanya dari angan-angan tetapi berdasar pencerapannya terhadap objek. Impresionisme, lebih radikal dari naturalisme, menganalisis bentuk  dari cahaya yang terefleksikan dari benda ke dalam retina mata dan lebih mencari efek dari cahaya tersebut daripada bentuk objek yang direfleksikannya. Contoh cara kerja impresionisme ialah bila semak-semak dari jauh terlihat dalam cahaya tertentu sampai pada mata hanya sebagai warna hijau yang kabur, pelukis impresionis akan melukis semak berupa warna hijau yang kabur, walaupun si pelukis tahu bentuk semak itu dengan baik melalui memorinya. Pengetahuan bagi pelukis impresionis ialah apa yang terlihat pada matanya tanpa mengandalkan memori sebelumnya tentang objek tersebut.
780px-Claude_Monet,_Impression,_soleil_levant,_1872.jpg
Lukisan Impresionis Claude Monet
Impression Sunrise (1872)

Seni dan Kebenaran

Dapatkah seni menuturkan kebenaran yang dapat dipercaya? Seni seringkali dituduh tidak mengemukakan kebenaran karena berkaitan dengan hal yang tidak sesungguhnya, bahkan seringkali dianggap merusak tatanan kebenaran yang sudah mapan. Plato menuduh seni sebagai perusak moral, karena mengarahkan audien pada emosi dan tidak mengemukakan kebenaran yang sejati. Seni hanyalah tiruan dari kenyataan yang merupakan tiruan dari dunia ide. Jadi seni menurut Plato ialah tiruan dan tiruan. Seni sangat jauh dari kebenaran yang sejati.  Di lain pihak, Paul Taylor dalam artikelnya yang berjudul Art and Truth menyatakan seni dalam hubungannya dengan kebenaran ialah sebagai kendaraan menuju dunia aktual. Karya seni dapat merepresentasikan state of affair (keadaan yang secara faktual terjadi), dan dapat menggambarkan objek dengan cara tertentu. Merepresentasikan state of affair misalnya novel yang ditulis berdasar peristiwa dan setting tempat yang sungguh terjadi, sedang menggambarkan objek dengan cara tertentu misalnya, peristiwa-peristiwa dalam novel disusun alurnya berdasar beberapa peristiwa yang sungguh terjadi, dengan setting waktu dan tempat yang bisa saja ditulis berbeda.