Minggu, 26 Mei 2013

Epistemologi Seni


Oleh: Anastasia Jessica Adinda S.

Seni seringkali dipandang sebagai kegiatan manusia yang bersumber dari rasa, tapi apakah ini berarti pengetahuan seni tidak dapat diuraikan seperti kita menguraikan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, pengalaman, atau akal? Seni seperti jenis pengetahuan yang lain juga dapat dicari hakikatnya dari sudut pandang epistemologi.
Apa itu epistemologi?
Pernahkan bertanya : dari mana manusia bisa mengetahui sesuatu? apakah yang kita ketahui benar-benar sama dengan yang sesungguhnya hadir? Jika sama, mengapa seringkali kita mengalami kekeliruan? Apakah itu benar dan keliru? Jika pernah menanyakan hal-hal di atas, artinya Anda telah sampai pada ranah epistemologi. Epistemologi atau filsafat pengetahuan mengkaji secara kritis mengenai hakikat pengetahuan, ciri-ciri umumnya, metode memperoleh pengetahuan, pengandaian-pengandaian dasar yang memungkinkan terjadinya pengetahuan, dan kebenaran.
Subjektivitas dan Objektivitas dalam seni
Apakah sesuatu dikatakan seni atau bukan seni itu tergantung dari subjek yang melihatnya? Atau karena suatu benda memancarkan nilai seni sehingga manusia menyebut itu seni? Dalam epistemologi, dikenal dua golongan besar pemikiran mengenai asal pengetahuan, pertama empirisme dan kedua rasionalisme. Empirisme menyatakan pengetahuan berasal dari dunia di luar subjek atau dari pengalaman. Jikalau pemahaman subjek memiliki peran dalam memperoleh pengetahuan, hal itu bukan peran utama. Objek memiliki peran utama sebagai sumber pengetahuan. Sedang pada rasionalisme, pengetahuan berasal dari rasio, akal manusia. Subjek memiliki peranan penting dalam proses pembentukan pengetahuan. Namun pertanyaannya, mungkinkah subjek yang berdiri tanpa objek dapat memperoleh pengetahuan? dan juga sebaliknya, mungkinkan objek dapat dimengerti tanpa peran subjek sama sekali?
Permasalahan subjektivitas dan objektivitas dalam seni membawa persoalan berikutnya: apakah seni sungguh tergantung dari setiap orang yang mengamatinya? Jika tidak ada objektivitas dalam seni, masihkan pendidikan seni yang mengajarkan aturan-aturan umum dalam seni relevan? (Hardono Hadi, 2011).
Metode memperoleh Pengetahuan dalam Seni
Dalam epistemologi, dikenal ada beberapa metode dalam memperoleh pengetahuan misalnya metode yang berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan. Plato, sebagai contohnya. Plato meyakini kenyataan yang sesungguhnya berada di dunia ide. Bertolak dari keyakinan ini, epistemologi Plato memahami bahwa pengetahuan diperoleh dari kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihat dalam dunia ide. Contoh metode lain dalam memperoleh pengetahuan ialah berangkat dari keraguan untuk sampai pada kebenaran yang tidak diragukan lagi. Misalnya, metode Descartes, skeptisme metodis yang dibedakan dari skeptisisme mutlak. Descartes memulai dari keraguan akan segala kenyataan untuk sampai pada kesimpulan yang tidak dapat diragukan lagi yaitu bahwa dirinya sedang berpikir. Dalam seni, juga terdapat perbedaan dalam metode memperoleh pengetahuan. Aliran melukis Neo-klasikisme misalnya, meyakini bahwa seni harus bersumber dari riset yang mendalam terhadap sejarah, baik itu diperoleh dari sastra klasik atau artefak masa lampau yang masih tersisa. Sedang, aliran melukis romantikisme menolak hal ini, seni bukan berasal dari peranan rasio yang logis, atau juga bukan dari ketepatan dengan sejarah, tetapi berasal dari emosi. Rasio menurut aliran romantikisme tidak dapat menjangkau hal-hal yang dapat dicapai oleh emosi.
Aliran impresionisme juga memperlihatkan perbedaan metode dalam memperoleh pengetahuan dibanding aliran lain seperti realisme atau naturalisme. Ketiga aliran ini yakin bahwa kenyataan di luar subjek merupakan sumber pengetahuan. Ketiga aliran ini juga memiliki keinginan yang sama untuk menggambarkan kenyataan sebagaimana adanya, tanpa ilusi. Namun demikian, ketiganya berbeda dalam metode menangkap kenyataan. Dalam Naturalisme, pelukis ingin menggambarkan objek setepat mungkin, peniruan dalam naturalisme ialah peniruan bentuk. Pelukis naturalis menyakini bahwa pengetahuan ialah apa yang dia lihat secara kasat mata. Sedang, realisme tidak hanya menggambarkan bentuk objek setepat mungkin tetapi juga isi suasananya. Pengetahuan bagi pelukis realis ialah apa yang ia lihat dan ia pikirkan tentang suatu objek. Tentu pikiran tersebut bukan hanya dari angan-angan tetapi berdasar pencerapannya terhadap objek. Impresionisme, lebih radikal dari naturalisme, menganalisis bentuk  dari cahaya yang terefleksikan dari benda ke dalam retina mata dan lebih mencari efek dari cahaya tersebut daripada bentuk objek yang direfleksikannya. Contoh cara kerja impresionisme ialah bila semak-semak dari jauh terlihat dalam cahaya tertentu sampai pada mata hanya sebagai warna hijau yang kabur, pelukis impresionis akan melukis semak berupa warna hijau yang kabur, walaupun si pelukis tahu bentuk semak itu dengan baik melalui memorinya. Pengetahuan bagi pelukis impresionis ialah apa yang terlihat pada matanya tanpa mengandalkan memori sebelumnya tentang objek tersebut.
780px-Claude_Monet,_Impression,_soleil_levant,_1872.jpg
Lukisan Impresionis Claude Monet
Impression Sunrise (1872)

Seni dan Kebenaran

Dapatkah seni menuturkan kebenaran yang dapat dipercaya? Seni seringkali dituduh tidak mengemukakan kebenaran karena berkaitan dengan hal yang tidak sesungguhnya, bahkan seringkali dianggap merusak tatanan kebenaran yang sudah mapan. Plato menuduh seni sebagai perusak moral, karena mengarahkan audien pada emosi dan tidak mengemukakan kebenaran yang sejati. Seni hanyalah tiruan dari kenyataan yang merupakan tiruan dari dunia ide. Jadi seni menurut Plato ialah tiruan dan tiruan. Seni sangat jauh dari kebenaran yang sejati.  Di lain pihak, Paul Taylor dalam artikelnya yang berjudul Art and Truth menyatakan seni dalam hubungannya dengan kebenaran ialah sebagai kendaraan menuju dunia aktual. Karya seni dapat merepresentasikan state of affair (keadaan yang secara faktual terjadi), dan dapat menggambarkan objek dengan cara tertentu. Merepresentasikan state of affair misalnya novel yang ditulis berdasar peristiwa dan setting tempat yang sungguh terjadi, sedang menggambarkan objek dengan cara tertentu misalnya, peristiwa-peristiwa dalam novel disusun alurnya berdasar beberapa peristiwa yang sungguh terjadi, dengan setting waktu dan tempat yang bisa saja ditulis berbeda.

Jumat, 01 Maret 2013

Pasar sepi, Jangan panik



Oleh: Anastasia Jessica A. S.

Kelesuan pasar seni rupa merupakan salah satu tantangan yang dihadapi seni rupa kontemporer Indonesia. Siklus hidup seni rupa tergantung pada berputarnya kapital ekonomi.  Syakieb Sungkar, seorang kolektor seni rupa kontemporer, mengemukakan bahwa kelesuan pasar seni rupa di Indonesia memang mendapat pengaruh dari melemahnya kekuatan ekonomi Eropa dan Amerika yang terjadi sekitar tahun 2010 sampai sekarang.[1]Gelombang kapital ekonomi semakin menguat di dunia seni rupa Indonesia sejak boom lukisan tahun 1987. Pada tahun 1987 tercatat di jakarta saja terjadi 116 pameran. Ini merupakan kenaikan hampir 40% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini terus meningkat dalam setiap tahun. Frekuensi pameran diikuti antusiasme pembelian lukisan. Selama tahun 1998 misalnya, ada sekitar 4.000 lukisan terbeli di ruang pamer resmi.[2] Di tengah keramaian pasar seni rupa ini muncul investor atau “kolekdol” (Kolektor yang pada waktu tertentu dodolan, “mendolarkan”, atau menjual koleksinya). Kehadiran kolekdol seringkali didampingi oleh pengijon yang membayar uang muka kepada pelukis terlebih dahulu sebelum karya tersebut jadi, agar karya-karya pelukis tidak jatuh ke tangan orang lain.[3] Karya seni mulai dipandang sebagai komoditas[4]. Seni di bawah kondisi-kondisi kapitalis memang menjadi satu bentuk kerja yang teralienasi karena seni berubah status menjadi komoditi dalam pasar.[5] Para kolekdol menjual-belikan karya seni bukan lagi berdasar bobot nilai estetikanya tetapi melihatnya sebagai investasi dan prestise. Konsumsi karya-karya seni rupa sebagai prestise, meminjam pemikiran Baudrillard, tidak lagi untuk mengonsumsi objek-objek yang nampak, tapi untuk sederetan makna yang ditautkan pada objek yang nampak itu, seperti status sosial atau tingkat intelektual yang tinggi.
Konsumsi karya seni rupa ini berada dalam jaringan rumit dunia seni (Artworld). Artworld merupakan jaringan yang terdiri dari seniman, kurator, kritikus seni, galeri, kolektor, penyandang dana (founding), audien, dan media massa. Bagaikan tubuh, kerusakan pada salah satu organ di jaring artworld ini akan merusak sistem. Perbaikan pun, sejalan dengan logika kerusakan, dapat dilakukan mulai dari satu organ yang kemudian perlahan mempengaruhi sembuhnya keseluruhan. Dalam kasus kelesuan pasar seni rupa kontemporer Indonesia, organ yang dianggap rusak ialah penyandang dana (founding). Keterpurukan ekonomi negara Eropa dan Amerika dianggap sebagai alasan ambruknya geliat kehidupan seni rupa kontemporer Indonesia. Berkurangnya dana yang dikucurkan oleh founding  akhirnya berpengaruh pada menurunnya produktivitas seniman dalam berkarya.[6] Jika seniman tidak produktif maka tidak ada karya, sedang tanpa karya tak akan ada kurator, kritikus seni, galeri, kolektor, audien, dan berita di media massa. Lalu bagaimana memperbaiki tubuh seni rupa kontemporer Indonesia yang salah satu organnya sedang sakit ini? Sejarah seni rupa di Indonesia punya pelajaran berharga soal kemandirian. Mungkin terdengar seperti romantisme kejayaan. Tapi tak ada salahnya untuk kita tengok, bagaimana seni rupa di awal kemerdekaan bisa hidup? Notabene di awal kemerdekaan, orang masih sibuk dengan urusan-urusan selain seni. Seni dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting karena tidak bisa memberi makan dan melancarkan urusan-urusan pemerintah setelah kemerdekaan. Namun, bagaimana justru di era-era awal kemerdekaan ini kritik seni bisa berjalan dengan lancar, gencar serang menyerang melalui media massa? Setelah Indonesia merdeka, era sanggar di dunia seni rupa pun berlangsung. Para seniman mendapat inspirasi untuk mendirikan sanggar-sanggar dari lembaga seperti Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) dan Keimin Bunka Shidhoso (Pusat Kebudayaan di zaman Jepang). Sanggar ini umumnya dilihat sebagai rumah pelatihan ketrampilan dan tempat pengasahan kreasi, juga sebagai institusi yang dapat dituntut untuk melahirkan karya-karya yang dibutuhkan masyarakat. Sanggar bagi perupa memberikan rasa aman dalam berbagai hal termasuk soal kesejahteraan ekonomi. Sanggar Pelukis Rakyat, pimpinan Hendra Gunawan memberikan contoh menarik, Hendra mendidik para anggotanya untuk bisa bekerja semau hati, tanpa dibayangi oleh hasrat-hasrat orang lain yang ingin menuntun. Tetapi di sisi lain, Hendra juga mengajarkan agar seniman bisa berkompromi dengan masyarakat, para calon pengguna seni rupa. [7] Sanggar yang bebas dari subsidi ini berusaha untuk menghidupi keseniannya dengan menyeimbangkan antara “karya dengan kebebasan hati” dan “karya dengan bidikan masyarakat ” sebagai sasaran pengguna seni rupa. Komunitas Sanggar Bambu pimpinan Sunarto Pr. memberikan contoh yang lain. Sunarto Pr. mengatakan bahwa sedapat mungkin para perupa Sanggar Bambu dapat mengaplikasikan karya-karya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Anggota Sanggar Bambu misalnya menghasilkan karya yang dapat digunakan sebagai dekorasi rumah dan taman, elemen artistik ruang publik, penghias kolom majalah dan surat kabar, dan sebagainya. Para seniman di sanggar ini dapat bertahan cukup lama, hingga tahun 90-an Sanggar Bambu masih melakukan pameran. [8]Kemandirian seniman-seniman yang tergabung dalam sanggar bisa menjadi model untuk kemandirian galeri seni juga. Galeri bersama seniman dapat melakukan upaya untuk menghidupi seni rupa kontemporer Indonesia. Galeri bersama seniman misalnya dapat bekerja sama untuk mengadakan suatu project seni di tengah masyarakat. Ini merupakan metode lama yang banyak digunakan oleh seniman-seniman Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Metode ini dikenal dengan nama turba (turun bawah). Sekelompok kecil seniman bekerja di dalam dan bersama sekelompok komunitas masyarakat. Seniman mempelajari isu yang menarik bagi komunitas tersebut. Bagaimana cara  mempelajarinya? Seniman perlu hidup bersama dan ikut mengerjakan segala yang komunitas tersebut kerjakan. Tidak hanya ikut dalam kehidupan komunitas ini, seniman juga perlu mengajak beberapa orang dari komunitas untuk ikut berkarya. Dengan terlibatnya orang-orang dari komunitas tersebut, karya-karya yang dibuat pun akan dapat dimengerti oleh masyarakat, dan komunitas tersebut tidak segan untuk ikut membantu mengupayakan dana guna menghidupi kesenian karena mereka merasa terlibat dan memiliki acara. Peran galeri adalah mengorganisir pameran  karya seniman dan komunitas tersebut agar berjalan efektif dan efisien serta berusaha mengatasi gap (jurang) yang terjadi antara masyarakat dan acara pameran. Seringkali, masyarakat enggan masuk ke galeri-galeri untuk menghadiri pameran seni karena menganggap ada gap status sosial, ekonomi, dan budaya. Galeri dengan konsep acara pamerannya diharapkan mampu memecahkan stigma bahwa menonton pameran lukisan adalah, meminjam istilah Pierre Bourdieu, suatu distinction, pembedaan gaya hidup agar terlihat dari kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Perubahan cara berpikir ini ialah perubahan yang bersifat epistemologis[9]. Perubahan kerangka penafsiran terhadap menonton pameran lukisan ini erat kaitannya dengan kuasa dalam pengetahuan. Siapa yang dapat mengubah kerangka penafsiran? Yang dapat mengubah kerangka penafsiran ialah pemilik modal (kapital) dan strategi perilaku. Modal di sini tidak selalu berarti modal ekonomi. Bourdieu menyatakan ada empat jenis modal (kapital) yaitu kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik.[10] Pemilik modal ekonomi, dalam kasus ini misalnya, para kolektor nasional. Bagaimana dapat menarik kolektor nasional? Galeri butuh mengajak pemilik modal budaya, seperti kurator, kritikus seni dan akademisi yang memiliki pengetahuan intelektual dan kemampuan menulis. Galeri dapat memantik pemilik modal budaya ini untuk menulis dan bersuara mengenai pameran. Media massa dan jurnal juga dapat digunakan sebagai corong pengeras suara mengenai pameran ini ke publik. Sedang, kapital sosial dapat berupa kemampuan galeri untuk bekerjasama karena budaya kerjasama akan melahirkan kepercayaan. Dan yang terakhir ialah galeri perlu mengajak orang-orang yang memiliki kapital simbolik  seperti tokoh masyarakat, kepala dusun komunitas setempat, atau tokoh-tokoh yang memiliki pengakuan sosial dari kelompok, baik secara institusional maupun informal. Segala yang dilakukan tokoh-tokoh yang memiliki kapital simbolik ini biasanya akan diikuti oleh orang-orang yang mengakui ketokohannya. Dengan usaha demikian, seniman bisa terus bertahan hidup dan tidak tercerabut dari masyarakat. Galeri tetap menjadi pengoordinir pameran sehingga tetap dapat running. Karya seni juga tidak menjadi pingitan di gudang-gudang para kolekdol. Fungsi komunikasi dari seniman ke audien pada seni pun berjalan dengan lancar. Jadi, pasar global terpuruk, jangan panik.

Daftar Pustaka:
Agus Dermawan T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi dalam Aspek-aspek seni visual indonesia, paradigma dan pasar. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Greg Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Gumilarganjar. Sedikit Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/
Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id

[1]  Gumilarganjar. Sedikit Tinjauan (lagi) terhadap Pasar Seni Rupa Indonesia. http://gumilarganjar.wordpress.com/2013/01/26/sedikit-tinjauan-lagi-terhadap-pasar-seni-rupa-indonesia/ 
[2] Agus Dermawan T. 2003. Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Paradigma dan Pasar. Hal 64.
[3] Ibid.
[4] komoditas adalah segala hal yang ada di luar individu yang melalui kualitas yang dimilikinya bisa memuaskan individu . komoditas dapat memiliki nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna ialah kualitas yang dimiliki objek ketika dapat memenuhi kebutuhan hidup. Sedang, nilai tukar ialah kualitas yang dimiliki objek ketika dapat dipertukarkan dengan uang atau objek-objek lain di pasar lain.
[5] Greg Soetomo. 2003. Krisis Seni krisis Kesadaran. Hal 32.
[6] Lihat berita Pasar Sepi, Perupa Panik Rabu, 08 Februari 2012, indonesiaartnews.or.id
[7] Agus Dermawan T. Hal 60-61
[8] ibid
[9] Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari mengenai pengetahuan
[10] Bourdieu dalam Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Hal 17


Senin, 09 Juli 2012

Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter


Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter
Oleh : Anastasia Jessica A.S.

Dokumenter = objektif?
‘Apakah yang disebut film dokumenter dapat diakui sebagai yang mewakili realitas itu sendiri?’. Pertanyaan ini mengemuka dalam sebuah diskusi yang diadakan Festival Film Dokumenter di tahun 2011. Pengertian ‘Dokumenter’ selalu berkembang dari masa ke masa. John Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu.[1] Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Semangat yang diperjuangkan dalam film dokumenter pun mengalami perkembangan, dari yang didasarkan atas semangat untuk menampilkan realitas seobjektif mungkin hingga untuk propaganda. Perkembangan tersebut tampak jika kita melihat sejarah munculnya film dokumenter. Pada era film bisu misalnya, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Kemudian bergeser pada era menjelang dan masa perang dunia kedua, pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Pada era pasca perang dunia, tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.[2]
Keberagaman materi yang ingin disampaikan dalam suatu film dokumenter pun akhirnya melahirkan beberapa pendekatan. Dikenal sedikitnya tiga jenis gaya film dokumenter. Pertama, classical cinema. Ini adalah bentuk paling terstruktur dan tradisional dari dokumenter.  Jenis dokumenter ini sering menggunakan banyak narasi didaktik. Kedua, Cinéma Vérité.  Gaya Cinéma Vérité berasal dari tahun 1950-an dan mencapai popularitas di tahun 1960. Cinéma Vérité didorong oleh kemajuan teknologi film seperti kamera portabel dengan teknologi perekam suara yang bisa dibawa ke mana saja. Cinéma Vérité, berarti 'True Cinema'. Cinéma Vérité bertujuan agar terjadi naturalisme ekstrim, menggunakan aktor non-profesional, teknik pembuatan film yang tidak mengganggu subjek, kamera genggam, lokasi asli, bukan suara studio, suara alamiah tanpa editing pada pasca produksi atau voiceovers. Kamera adalah 'lalat di dinding’ yang mengambil segala hal yang terjadi. Ketiga, documentary drama. Gaya ini mencampur teknik drama dan unsur-unsur faktual dokumenter. Peristiwa nyata diperankan oleh aktor profesional dengan setting yang dikendalikan dalam gaya yang direkonstruksikan dengan jelas.[3]
Setelah melihat, berbagai jenis pendekatan dalam film dokumenter, tampak bahwa pembuatan film dokumenter selalu dipengaruhi oleh gaya yang dipilih pembuat film, teknologi yang digunakan, dan ke-spontan-an subjek yang difilmkan. Kini, kembali mengulang pertanyaan di awal “apakah yang disebut film dokumenter dapat diakui sebagai yang mewakili realitas itu sendiri?”

Kuasa Pengetahuan dalam Film Dokumenter
Mungkinkah sebuah film dokumenter tanpa keberpihakkan?
Saya pernah menonton salah satu film dokumenter berjudul Secret of Tribe. Film tersebut mempermasalahkan kedudukan seorang peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya. Dikisahkan dalam film tersebut peneliti melakukan intervensi ke dalam masyarakat Yanomami di pedalaman Amerika Latin. Intervensi yang dilakukan berupa pemberian barang-barang yang semula tidak menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat desa tersebut seperti hamok, bahan makanan, dll. Intervensi lain yang menimbulkan perdebatan di kalangan para peneliti antropologi ialah dinikahinya seorang gadis Yanomami oleh seorang peneliti kemudian gadis tersebut dibawa ke kota. Intervensi yang lain lagi berupa disuntikkannya bahan tertentu ke dalam tubuh beberapa penduduk desa, dan suntikkan tersebut mengakibatkan tewasnya puluhan orang di desa tersebut. Dikisahkan dalam Secret of Tribe para peneliti mengemas hasil penelitian, salah satunya dalam bentuk film. Kacamata yang digunakan untuk memandang karakter masyarakat Yanomami dalam film (hasil penelitian) tersebut terasa sangat ‘barat’. Masyarakat Yanomami dicitrakan sebagai masyarakat yang belum beradab karena mengandalkan naluri alamiahnya seperti berperang dan melakukan kekerasan fisik untuk mempertahankan wilayah, mengandalkan hidup sepenuhnya pada alam, tidak berpakaian menutup seluruh tubuh, tidak mengenal baca tulis, dan memiliki perilaku seksual yang liar. Demikian, kira-kira potret masyarakat suku pedalaman dari sudut pandang akademisi. Ideologi, konsep, logika dan sikap pembuat film secara sengaja atau pun tidak sengaja termanifestasi dalam film yang ia hasilkan.
Tantangan terpengaruhnya subjektivitas dalam karya dokumenter sempat coba diatasi oleh para pembuat film dokumenter Indonesia dengan model pembuatan video-video komunitas. Para pembuat film mengajarkan cara mengoperasikan kamera video dan memberi fasilitas penggunaan kamera video untuk anggota komunitas suatu masyarakat. Anggota komunitas dengan demikian dapat membuat video tentang  diri mereka sendiri bukan dari kacamata seorang outsider. Atau cara lain yang pernah dilakukan ialah pembuat  dan subjek yang difilmkan menonton bersama hasil film. Dari menonton bersama tersebut, si subjek boleh memberi masukan mana shot yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak.

Politik seleksi gambar
Yang perlu disadari ialah adanya politik seleksi gambar dalam film dokumenter, demikian istilah yang diungkapkan oleh Saut Situmorang dalam diskusi Festival Film Dokumenter, tanggal 9 Desember 2011 yang bertajuk: “Memeriksa Kembali Relasi Kuasa dan Fungsi Representasi dalam Dokumenter”. Politik seleksi gambar dilakukan sejak pra-produksi hingga mendapatkan gambar-gambar yang fix untuk ditampilkan. Sejak pra-produksi, produser, sutradara dan kru sudah mempunyai konsep kegiatan-kegiatan apa saja yang berhubungan dengan isu yang akan diangkat, framing dan camera work seperti apa yang akan dipakai agar pesan yang diinginkan dapat sampai kepada penonton, shot gambar apa saja yang dibutuhkan untuk menguatkan pesan. Pada tahap produksi, camera person memiliki kuasa untuk memilih kegiatan mana dan framing seperti apa yang akan diambil, tentu saja berdasarkan garis besar isu yang akan diangkat. Pada tahap pasca produksi, editor punya kuasa untuk menyeleksi gambar mana yang perlu ditampilkan dan yang tidak perlu. Ditambah lagi, jika pembuat film mengadakan menonton hasil editan terakhir bersama subjek yang difilmkan, maka sang subjek juga berhak memilih gambar mana yang layak diangkat dan mana yang tidak layak, tentu dengan alasan yang kuat dari si subjek. Membuat film dokumenter yang bebas nilai rasanya tak mungkin. Dalam film dokumenter terjadi tarik ulur kepentingan baik dari pembuat maupun subjek yang difilmkan.

Relasi kuasa dan pengetahuan
Kuasa tidak hanya hadir dalam film dokumenter, tapi juga dalam semua bentuk pengetahuan. Hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi fokus kajian seorang tokoh Prancis bernama Michel Foucault. Bagi Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Kekuasaan dalam pengetahuan membentuk penentuan kriteria benar-salah, wajar-tidak wajar, sehat-tidak sehat, dll. Kriteria tersebut kemudian ikut membentuk konsep individu tentang suatu pengetahuan. Sebagai contoh, definisi kedokteran tentang penyakit menular atau penyakit keturunan menyebabkan isolasi, pengasingan, dan hubungan sosial dengan penderita berubah; definisi psikiatri tentang alienasi mental/gila mengubah praktik penanganan orang gila; atau konsep kecantikan menghasilkan salon, diet, fitness, dan pakaian.[4] Dalam film dokumenter, kekuasaan hadir dalam citra tentang suatu wacana. Misalnya: dalam contoh film ‘Secret of Tribe’, citra suku Yanomami adalah citra dari sudut pandang para peneliti Barat. Film dokumenter, sekaligus adalah suatu bentuk wacana baru yang akan mempengaruhi pikiran, tindakan dan ucapan individu-individu. Sebagai contoh: setelah saya menonton film dokumenter ‘Food Inc’ yang di salah satu bagiannya menceritakan tentang kekejian restoran cepat saji multinasional dalam menyiapkan daging-daging ternaknya, saya jadi tidak mau makan di restoran cepat saji tersebut.

Lalu, Bagaimana Kita Bersikap?
Kesangsian akan adanya dokumenter yang benar-benar ‘dokumenter’ tak harus membawa sikap fatalisme dengan memilih untuk tidak membuat atau menonton film dokumenter sama sekali. Membuat atau menonton film dokumenter dengan ke’waspada’an itulah yang diperlukan. Ke’waspada’an mengasumsikan adanya kesadaran. Kesadaran seperti apa? kesadaran bahwa setiap film dokumenter punya sudut pandang sesuai dengan ideologi si pembuat film dan pendana film tersebut, kesadaran bahwa film dokumenter melibatkan banyak orang dan setiap orang punya sisi subjektivitas yang sangat mungkin terikut saat mengeksekusi gambar mana yang akan ditampilkan, dan kesadaran terhadap konteks saat munculnya film tersebut. Film Dokumenter sebagai suatu produk pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh Foucault, ialah merupakan artikulasi dari kekuasaan (tidak hanya berarti kekuasaan politik). Namun, kesangsian terhadap pengetahuan (juga terhadap film dokumenter) tak harus membuat kita sama sekali tidak mau mencerap semua pengetahuan, hanya saja kita perlu melihat seluruh aspek secara lebih komprehensif dan merayakan keberagaman berbagai perspektif.

Daftar Pustaka:
Sejarah Film Dokumenter dalam Montase, buletin seni independen vol.09
Haryatmoko, Handout kuliah filsafat sosial Pascasarjana Fakultas Filsafat Ugm.
Trisha Das, How to Write a Documentary Script, A Monograph.
Yoga, 2008. Apa itu film Dokumenter? dalam http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=15




[1] Yoga, 2008. Apa itu film Dokumenter? dalam http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=15
[2] Sejarah Film Dokumenter dalam Montase, buletin seni independen vol.09
[3] Trisha Das, How to Write a Documentary Script, A Monograph. Hlm. 8
[4] Handout kuliah filsafat sosial pascasarjana filsafat ugm oleh Haryatmoko.