Kuasa
Pengetahuan dalam Film
Dokumenter
Oleh
: Anastasia Jessica A.S.
Dokumenter
= objektif?
‘Apakah
yang disebut film dokumenter dapat diakui sebagai yang mewakili realitas itu
sendiri?’. Pertanyaan
ini mengemuka dalam sebuah diskusi yang diadakan Festival Film Dokumenter di
tahun 2011. Pengertian ‘Dokumenter’ selalu berkembang dari masa
ke masa. John
Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan
mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan
suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu.[1]
Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk
yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin
bervariasi. Semangat yang diperjuangkan dalam film dokumenter
pun mengalami perkembangan, dari yang didasarkan atas semangat untuk
menampilkan realitas seobjektif mungkin hingga untuk propaganda. Perkembangan
tersebut tampak jika kita melihat sejarah munculnya film dokumenter. Pada era
film bisu misalnya, para pembuat
film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada
di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Kemudian bergeser pada
era menjelang dan masa perang dunia kedua, pemerintah, institusi, serta perusahaan
besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang
beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will
(1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat
propaganda Nazi. Pada era pasca perang dunia, tema dokumenter pun makin meluas
dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan
even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.[2]
Keberagaman materi yang ingin disampaikan
dalam suatu film dokumenter pun akhirnya melahirkan beberapa pendekatan. Dikenal
sedikitnya tiga jenis gaya film dokumenter. Pertama, classical cinema.
Ini adalah bentuk paling terstruktur
dan tradisional dari dokumenter.
Jenis dokumenter ini sering
menggunakan banyak narasi
didaktik. Kedua, Cinéma
Vérité. Gaya Cinéma
Vérité berasal dari tahun 1950-an dan mencapai
popularitas di tahun
1960. Cinéma Vérité didorong oleh kemajuan teknologi film
seperti kamera portabel
dengan teknologi perekam suara yang bisa dibawa ke mana saja. Cinéma Vérité, berarti 'True
Cinema'. Cinéma Vérité bertujuan agar terjadi
naturalisme ekstrim,
menggunakan aktor non-profesional, teknik pembuatan film yang tidak mengganggu subjek,
kamera genggam, lokasi
asli, bukan suara
studio, suara
alamiah tanpa
editing pada pasca produksi atau
voiceovers. Kamera
adalah 'lalat di dinding’ yang mengambil segala hal yang terjadi.
Ketiga, documentary drama. Gaya ini mencampur teknik
drama dan
unsur-unsur faktual dokumenter.
Peristiwa nyata diperankan oleh aktor
profesional dengan setting yang dikendalikan dalam gaya yang direkonstruksikan dengan jelas.[3]
Setelah
melihat, berbagai jenis pendekatan dalam film dokumenter, tampak bahwa
pembuatan film dokumenter selalu dipengaruhi oleh gaya yang dipilih pembuat
film, teknologi yang digunakan, dan ke-spontan-an subjek yang difilmkan. Kini, kembali
mengulang pertanyaan di awal “apakah yang disebut film dokumenter dapat diakui
sebagai yang mewakili realitas itu sendiri?”
Kuasa
Pengetahuan dalam Film Dokumenter
Mungkinkah
sebuah film dokumenter tanpa keberpihakkan?
Saya pernah menonton salah satu film dokumenter
berjudul Secret of Tribe. Film tersebut mempermasalahkan kedudukan
seorang peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya. Dikisahkan dalam film
tersebut peneliti melakukan intervensi ke dalam masyarakat Yanomami di
pedalaman Amerika Latin. Intervensi yang dilakukan berupa pemberian
barang-barang yang semula tidak menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat desa
tersebut seperti hamok, bahan makanan, dll. Intervensi lain yang menimbulkan
perdebatan di kalangan para peneliti antropologi ialah dinikahinya seorang
gadis Yanomami oleh seorang peneliti kemudian gadis tersebut dibawa ke kota.
Intervensi yang lain lagi berupa disuntikkannya bahan tertentu ke dalam tubuh
beberapa penduduk desa, dan suntikkan tersebut mengakibatkan tewasnya puluhan
orang di desa tersebut. Dikisahkan dalam Secret of Tribe para peneliti
mengemas hasil penelitian, salah satunya dalam bentuk film. Kacamata yang
digunakan untuk memandang karakter masyarakat Yanomami dalam film (hasil
penelitian) tersebut terasa sangat ‘barat’. Masyarakat Yanomami dicitrakan
sebagai masyarakat yang belum beradab karena mengandalkan naluri alamiahnya
seperti berperang dan melakukan kekerasan fisik untuk mempertahankan wilayah,
mengandalkan hidup sepenuhnya pada alam, tidak berpakaian menutup seluruh
tubuh, tidak mengenal baca tulis, dan memiliki perilaku seksual yang liar.
Demikian, kira-kira potret masyarakat suku pedalaman dari sudut pandang
akademisi. Ideologi, konsep, logika dan sikap pembuat film secara sengaja atau
pun tidak sengaja termanifestasi dalam film yang ia hasilkan.
Tantangan terpengaruhnya subjektivitas dalam karya
dokumenter sempat coba diatasi oleh para pembuat film dokumenter Indonesia
dengan model pembuatan video-video komunitas. Para pembuat film mengajarkan
cara mengoperasikan kamera video dan memberi fasilitas penggunaan kamera video
untuk anggota komunitas suatu masyarakat. Anggota komunitas dengan demikian
dapat membuat video tentang diri mereka
sendiri bukan dari kacamata seorang outsider. Atau cara lain yang pernah
dilakukan ialah pembuat dan subjek yang
difilmkan menonton bersama hasil film. Dari menonton bersama tersebut, si
subjek boleh memberi masukan mana shot yang perlu ditampilkan dan mana
yang tidak.
Politik
seleksi gambar
Yang
perlu disadari ialah adanya politik seleksi gambar dalam film dokumenter,
demikian istilah
yang diungkapkan oleh Saut Situmorang dalam diskusi Festival Film Dokumenter,
tanggal 9 Desember
2011 yang bertajuk: “Memeriksa Kembali Relasi Kuasa dan Fungsi Representasi
dalam Dokumenter”. Politik seleksi gambar dilakukan sejak pra-produksi
hingga mendapatkan gambar-gambar yang fix untuk ditampilkan. Sejak
pra-produksi, produser, sutradara dan kru sudah mempunyai konsep
kegiatan-kegiatan apa saja yang berhubungan dengan isu yang akan diangkat, framing
dan camera work seperti apa yang akan dipakai agar pesan yang diinginkan
dapat sampai kepada penonton, shot gambar apa saja yang dibutuhkan untuk
menguatkan pesan. Pada tahap produksi, camera person memiliki kuasa
untuk memilih kegiatan mana dan framing seperti apa yang akan diambil,
tentu saja berdasarkan garis besar isu yang akan diangkat. Pada tahap pasca
produksi, editor punya kuasa untuk menyeleksi gambar mana yang perlu
ditampilkan dan yang tidak perlu. Ditambah lagi, jika pembuat film mengadakan
menonton hasil editan terakhir bersama subjek yang difilmkan, maka sang subjek
juga berhak memilih gambar mana yang layak diangkat dan mana yang tidak layak,
tentu dengan alasan yang kuat dari si subjek. Membuat film dokumenter yang
bebas nilai rasanya tak mungkin. Dalam film dokumenter terjadi tarik ulur
kepentingan baik dari pembuat maupun subjek yang difilmkan.
Relasi
kuasa dan pengetahuan
Kuasa tidak hanya hadir dalam
film dokumenter, tapi juga dalam semua bentuk pengetahuan. Hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan
menjadi fokus kajian seorang tokoh Prancis bernama Michel Foucault.
Bagi Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Kekuasaan
dalam pengetahuan membentuk penentuan kriteria benar-salah, wajar-tidak wajar,
sehat-tidak sehat, dll. Kriteria tersebut kemudian ikut membentuk konsep
individu tentang suatu pengetahuan. Sebagai contoh, definisi kedokteran tentang
penyakit menular atau penyakit keturunan menyebabkan isolasi, pengasingan, dan
hubungan sosial dengan penderita berubah; definisi psikiatri tentang alienasi
mental/gila mengubah praktik penanganan orang gila; atau konsep kecantikan
menghasilkan salon, diet, fitness, dan pakaian.[4]
Dalam film dokumenter, kekuasaan hadir dalam citra tentang suatu wacana.
Misalnya: dalam contoh film ‘Secret of Tribe’, citra suku Yanomami adalah citra
dari sudut pandang para peneliti Barat. Film dokumenter, sekaligus adalah suatu
bentuk wacana baru yang akan mempengaruhi pikiran, tindakan dan ucapan
individu-individu. Sebagai contoh: setelah saya menonton film dokumenter ‘Food
Inc’ yang di salah satu bagiannya menceritakan tentang kekejian restoran cepat
saji multinasional dalam menyiapkan daging-daging ternaknya, saya jadi tidak
mau makan di restoran cepat saji tersebut.
Lalu,
Bagaimana Kita Bersikap?
Kesangsian
akan adanya dokumenter yang benar-benar ‘dokumenter’ tak harus membawa sikap
fatalisme dengan memilih untuk tidak membuat atau menonton film dokumenter sama sekali. Membuat
atau menonton film dokumenter dengan ke’waspada’an itulah yang diperlukan.
Ke’waspada’an mengasumsikan adanya kesadaran. Kesadaran seperti apa? kesadaran
bahwa setiap film dokumenter punya sudut pandang sesuai dengan ideologi si
pembuat film dan pendana film tersebut, kesadaran bahwa film dokumenter
melibatkan banyak orang dan setiap orang punya sisi subjektivitas yang sangat mungkin
terikut saat mengeksekusi gambar mana yang akan ditampilkan, dan
kesadaran terhadap konteks saat munculnya film tersebut. Film Dokumenter sebagai suatu
produk pengetahuan, sebagaimana dikatakan oleh Foucault, ialah merupakan
artikulasi dari kekuasaan (tidak hanya berarti kekuasaan politik). Namun, kesangsian
terhadap pengetahuan
(juga terhadap film dokumenter) tak harus membuat kita sama sekali tidak mau
mencerap semua pengetahuan, hanya saja kita perlu melihat seluruh aspek secara
lebih komprehensif dan merayakan keberagaman berbagai perspektif.
Daftar Pustaka:
Sejarah
Film Dokumenter dalam Montase, buletin seni independen vol.09
Haryatmoko, Handout kuliah
filsafat sosial Pascasarjana Fakultas Filsafat Ugm.
Trisha Das, How to Write a
Documentary Script, A Monograph.
Yoga, 2008. Apa itu film
Dokumenter? dalam http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=15