Senin, 05 April 2010

CERITA LAWAS YANG TERUS DIKUPAS


“Kenapa harus menggarap kesenian tradisi yang hanya terus menerus mengulang cerita lawas?”

Respon dari seorang kawan tersebut mengundang tanya juga dalam diri saya dan akhirnya memaksa untuk mencari jawabnya. Mengapa kesenian tradisi harus terjebak dalam masa lampau? Tidak adakah perannya di kehidupan masa kini?
Didong dari masyarakat Gayo, Aceh; lenong dari Jawa barat; ketoprak dari Jawa tengah, ludruk dari Jawa Timur, Meleab dari masyarakat Tolitoli, Sulawesi; merupakan beberapa contoh kesenian tradisi. Kesenian tradisi pada umumnya telah mempunyai pakem atau patokan yang harus ditaati. Pakem tersebut dapat berupa isi cerita, atau bentuk kesenian seperti kostum, gesture, setting panggung, atau musik pengiring.

Chernyshevsky:
Keindahan adalah kehidupan...suatu objek yang indah ialah yang mengungkapkan kehidupan, atau yang mengingatkan diri kita pada kehidupan. (Chernyshevsky, 2005: hal 8,151)

Seni selalu mengandung unsur keindahan. Bertolak dari definisi keindahan yang diberikan Chernyshevsky, filsuf kebangsaan Rusia yang menulis The Aesthetic Relations of Art to Reality , seni mencakup segala segala sesuatu dalam kehidupan atau sesuatu yang mengingatkan diri kita pada kehidupan dan alam yang menjadi perhatian manusia. Artinya, Seni bukan hanya sekedar rekaan-rekaan yang tidak menemukan relevansinya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Seorang seniman di sini, tidak hanya sekedar mereproduksi gejala alam tapi juga berpikir dan memberi penilaian atasnya. Seni dalam pengertian Chernyshevsky oleh Hesri Setiawan, seorang pelukis dan Mantan Ketua Lekra Jawa Tengah, diungkapkan dalam seni (baik berbentuk tulisan, lagu , lukisan, maupun permainan peran) yang bisa membangkitkan semangat rakyat untuk bergerak, bergerak bukan hanya dalam arti fisik, namun mental juga. Sebagai contoh, Di zaman Revolusi Indonesia, tahun 1950 – 1960 an, seni yang mengingatkan akan kehidupan ialah seni yang mampu menggugah kesadaran bahwa ada yang salah dalam sistem bagi hasil petani. Seni bukan hanya saja berfungsi sebagai hiburan, tapi dapat mengingatkan seseorang akan kehidupannya. Demikian juga dengan seni tradisi seperti wayang dan ketoprak, dalam pertunjukannya, mereka juga sebenarnya mengungkapkan kehidupan, pikiran atau kegelisahan rakyat. Dalam ketoprak kesemuanya itu dikemas dalam dialog-dialog jenaka pemain di satu babak. Sedang dalam Wayang, ada bagian ‘gara-gara’(baca:goro-goro) yang mengungkapkan tentang realitas dinamika kehidupan yang ada di masyarakat dengan kemasan yang juga cukup jenaka. Menghidupkan dan meneruskan kesenian tradisi sebagai sesuatu yang tetap relevan pada zamannya dapat dilakukan pula dengan pembacaan ulang terhadap teks-teks mite, legenda, atau dongeng. Cerita Ramayana yang ditafsir ulang dengan kacamata feminisme misalnya, bahwa ‘mengapa hanya perempuan (Dewi Sinta) yang perlu membuktikan keperawanannya?’, bisa menjadi salah satu bahan refleksi saat ini. Atau Kisah Calon Arang, yang masih dalam kacamata feminisme, dapat dilihat sebagai kekuatan wanita (Calon Arang) untuk mengatur dan mengendalikan kekuatan patriarkhis di sekitarnya. Atau Kisah Mahabarata yang dibaca ulang sebagai penggambaran karakter manusia (pandawa dan kurawa) yang tak pernah bisa hitam putih tapi abu-abu. Tidak pernah bisa seratus persen baik atau buruk tapi campuran antara keduanya.
“Seni bukanlah sekedar hiburan, tapi dapat mengingatkan seseorang akan kehidupannya”.
Kesenian tradisi yang dapat mengingatkan akan kehidupan rakyat merupakan perwujudan dari paradigma ‘seni untuk sesuatu’. Maksud dari ‘Seni untuk sesuatu’ adalah seni sebagai media untuk mengkomunikasikan suatu gagasan. Kesenian tradisi sebagai media untuk mengkomunikasikan gagasan kerakyatan. Seni tidak hanya berurusan dengan teknis-teknis pencapaian karya yang estetis tapi juga isi yang ingin disampaikannya.
Walaupun demikian, seni yang menyuarakan hati rakyat bukan berarti seni yang vulgar. Vulgar di sini berarti tidak lagi memuat simbol-simbol, semua diungkapkan secara denotatif. Menurut Hesri Setiawan, keunggulan seni ialah ketika dapat mengugah orang-orang untuk berfantasi. Kritik-kritik sosial diungkapkan dengan cara di’sampar-sampar’ atau menyerempet atau disinggung-singgung.
‘Mau tidak mau, untuk mempertahankan seni tradisi ialah dengan melakukan pembacaan ulang terhadapnya’, kata seorang kawan.
Kesenian tradisi dapat relevan dengan zamannya dan punya peran untuk mengingatkan pada kehidupan serta membangun semangat penikmatnya. Dan tentu saja bukan berarti melakukan vulgarisasi karena tetap memperhatikan sisi estetis dalam karya.
Sumber:
Film Dokumentasi Bumi Tarung. ‘Yang Bertanah Air Tak Bertanah’. Kotak Hitam Production. 2009.
Chernyshevsky, N.G. (Samanjaya, penerj). 2005. Hubungan Estetik Seni dengan Realitas. Bandung: CV.Ultimus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar